Posting Terbaru

Minggu, 15 Mei 2011

Cowok Cakep Pemegang Sabit



Pagi ini tiba-tiba saya ingin mengenang kelas TM3 angkatan 2009-2010. Kelas paling unik di sekolah kami. Dihuni siswa-siswa berprestasi, memiliki kejujuran tinggi. Sebagian besar kalau bicara seenaknya sendiri, seperti tanpa beban. Kompak, bersaing secara sehat, tidak saling menjatuhkan, berani menjadi dirinya sendiri, dan  memiliki sportifitas tinggi.
                Meskipun mereka sudah meninggalkan sekolah sejak setahun yang lalu. Ada beberapa siswa yang masih saya ingat sampai sekarang. Ingat pola pikir dan gaya bicaranya. Salah satunya adalah Riki. Bicaranya ceplas-ceplos, namun sopan, jujur dan berani tampil menjadi diri sendiri. Penampilannya selalu rapi dan terkesan elegan. Siapapun tidak akan percaya kalau pekerjaanya setiap hari mencari rumput untuk pakan sapi. Saya saja sebagai gurunya memerlukan waktu beberapa bulan untuk mempercayainya.

                “Lihat tangan kami, jangan lihat penampilan kami”, sambil menyodorkan tangannya yang kasar akibat sering mencari rumput.
                “Kurang percaya, tambah satu lagi. Ini bu, raba tangan Mukhlis. Dia seprofesi dengan saya”, Mukhlis ikut menodorkan tangannya.
                Saya diam saja, masih belum percaya. Riki saja, saya tidak percaya apalagi Mukhlis lebih parah. Lebih tidak percaya. Mukhlis penampilannya lebih elegan, anaknya sangat cerdas dan sopan. Kesannya lebih tidak peduli dengan lingkungannya. Lebih pendiam tapi murah senyum. Sangat percaya diri.
                “Kalau kurang percaya, absen 36. Tangannya lebih parah. Kasar, hitam dan menyebalkan. Ha ha ha ...!”, kata Riki bercanda.
                Absen 36, Roziq hanya tersenyum di ledek Riski. Maju ke depan ikut menyodorkan tangannya. Saya memang jarang sekali memanggil Roziq dengan memanggil namanya namun lebih suka menyebut nomor absennya. Dan diapun sepakat. Seorang anak yang imut karena perutnya gendut. Meskipun gendut namun dia memiliki mobilitas tinggi, memiliki banyak ide dan kreatifitas. Aktif dalam kegiatan pramuka.
                Saya masih diam, karena memang belum percaya. Tiba-tiba Niko menyela, “Benar bu, mereka itu hanya kumpulan pengarit-pengarit mania”
                “Lebih baik pengarit mania daripada tukang tadah mania. Hanya bisa meminta tanpa bekerja. Kalau Niko beda bu, dia itu tukang tadah. Anak mama”, bela Riki.
                “Benar bu”, bela Mukhlis.
                “Kalian itu sirik, tanda tak mampu!”, ejek Niko sambil menjulurkan lidah.
                Meskipun mereka sering saling meledek, namun sangat kompak serta tidak mudah marah. Itulah kelebihannya siswa kelas XITM3. Saat ini, Riki dan Mukhlis memutuskan kuliah di Universitas swasta dekat rumah karena mereka masih memiliki tanggung jawab merawat sapi. Setiap hari pulang ke rumah, tidak pernah kost. Setiap hari menjalani profesinya, menyabit rumput.
                Bila ada waktu luang pasti main ke sekolah. Mereka mengatas namakan Cowok Cakep  Pemegang Sabit Mania. Kalau sudah berkumpul di perpustakaan sekolah bisa bikin heboh, suka melanggar aturan. Berisik, ada saja ceritanya;  cerita teman-teman kuliahnya, prestasi akademiknya, suka dukanya kuliah, misi hidupnya dan lain sebagainya. Biasanya mereka datang berenam bersama Nanang yang saat ini diterima Bidik Misi di ITS.  Saling meledek, lupa kalau sudah semakin dewasa.
                Ada tugas wajib yang harus saya jalani. Mendengarkan dan menjadi saksi perjalanan hidup mereka. Menunggu hasilnya, minimal lima tahun ke depan. Menunggu keberhasilan mereka. “Jangan lupa berdoa buat keberhasilan kami semua”, pesan sponsor mereka.
                “Hari ini kami belum membawa apa-apa. Kalaupun kami membawa buah tangan, pasti ibu akan bertanya ...”, belum selesai Riki berkata.
                “Uang siapa?”, sahut Niko.
“Darimana?”, sambung Mukhlis.
“Keringat siapa?!”, Nanangpun ikut bicara.
 “Membuat kami repot menjawabnya”, lanjut Niko diplomatis.
                “Betul ... betul ... betul!”, jawab mereka kompak.
                Saya hanya bisa tersenyum sambil mendengarkan apa kata mereka. Percuma saja beradu argumentasi dengan mereka. Tidak ada gunanya. Buang-buang waktu percuma. Daripada bicara, lebih baik berdoa sesuai pesan sponsor mereka.  Satu yang belum bisa datang, Wibi.  Saat ini dia ada di Malaysia. Sesuai dengan mimpinya, terpaksa mencari modal di negara tetangga untuk membuka usaha. Meskipun demikian dia masih sering telepon.  Kami masih bisa sering bertemu walaupun hanya sebatas di dunia maya. Di Facebook.
                Saya akan sabar menunggu mereka minimal lima tahun yang akan datang. Semoga Allah masih memberi umur panjang, sehingga saya masih memiliki waktu melihat keberhasilan, dan kebahagiaan mereka di masa datang. Amin.
               


7 komentar:

  1. wah wah
    menggairahkan sekali punya murid2 seperti mereka ya mba :D
    gpp tangan kasar, asal hati tetap Rinto hehehe

    BalasHapus
  2. Alhamdulillah anak-anak selalu penuh semangat walaupun hidup dalam keterbatasan.

    BalasHapus
  3. Semoga anak didik kita mendapat kesuksesan, entah yg kerja maupun yang melanjutkan lagi

    BalasHapus
  4. SUbhanallah... Luar bisa sekali, Bu. Wibi ajdi TKI kah, Bu?

    BalasHapus
  5. sangat bahagia ya punya murid2 seperti itu..tidak prnah mngeluh dan trus berkarya

    BalasHapus